Selasa, 24 November 2009

ZAMAN KE EMASAN ISLAM DAN Sahabat-sahabat RASULULLAH


DAULAH ABASIYAH : ZAMAN KEEMASAN ISLAM-Abu Zahra Ibnu Machtum (Indonesia)

 

Posted on October 21, 2009 by pemudasarawak
A. Pengantar
 
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar.
Menjelang tumbangnya Daulah Umayah telah terjadi banyak kekacauan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara; terjadi kekeliruan-kekeliruan dan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para Khalifah dan para pembesar negara lainnya sehingga terjadilah pelanggaran-pelanggaran terhadap ajaran Islam.
Di antara kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang dibuat adalah :
1. Politik kepegawaian didasarkan pada klan, golongan, suku, kaum dan kawan.
2. Penindasan yang terus-menerus terhadap pengikut-pengikut Ali RA pada khususnya dan terhadap Bani Hasyim pada umumnya.
3. Penganggapan rendah terhadap kaum muslimin yang bukan bangsa Arab, sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
4. Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara yang terang-terangan. [1]


Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa. Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada berbagai kegiatan keluarga Syiah.[2] Keturunan Bani Hasyim dan Bani Abbas yang ditindas oleh Daulah Umayah bergerak mencari jalan bebas, dimana mereka mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Daulah Umayah dan membangun Daulah Abbasiyah. Gerakan ini didahului oleh keturunan Bani Abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim.[3]



Di bawah pimpinan Imam mereka Muhammad bin Ali Al-Abbasy mereka bergerak dalam dua fase, yaitu fase sangat rahasia dan fase terang-terangan dan pertempuran.[4] Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim ke seluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan-golongan yang merasa ditindas, bahkan juga dari golongan-golongan yang pada mulanya mendukung Daulah Umayah Setelah Imam Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya Ibrahim, pada masanya inilah bergabung seorang pemuda berdarah Persia yang gagah berani dan cerdas dalam gerakan rahasia ini yang bernama Abu Muslim Al-Khurasani. Semenjak masuknya Abu Muslim ke dalam gerakan rahasia Abbasiyah ini, maka dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran, dan akhirnya dengan dalih ingin mengembalikan keturunan Ali ke atas singgasana kekhalifahan, Abu Abbas pimpinan gerakan tersebut berhasil menarik dukungan kaum Syiah dalam mengobarkan perlawanan terhadap kekhalifahan Umayah. Abu Abbas kemudian memulai makar dengan melakukan pembunuhan sampai tuntas semua keluarga Khalifah, yang waktu itu dipegang oleh Khalifah Marwan II bin Muhammad. Begitu dahsyatnya pembunuhan itu sampai Abu Abbas menyebut dirinya sang pengalir darah atau As-Saffar.[5] Maka bertepatan pada bulan Zulhijjah 132 H (750 M) dengan terbunuhnya Khalifah Marwan II di Fusthath, Mesir dan maka resmilah berdiri Daulah Abbasiyah.
Dalam peristiwa tersebut salah seorang pewaris takhta kekhalifahan Umayah, yaitu Abdurrahman yang baru berumur 20 tahun, berhasil meloloskan diri ke daratan Spanyol. Tokoh inilah yang kemudian berhasil menyusun kembali kekuatan Bani Umayah di seberang lautan, yaitu di keamiran Cordova. Di sana dia berhasil mengembalikan kejayaan kekhalifahan Umayah dengan nama kekhalifahan Andalusia [6]


B. Tiga Dinasti dalam Daulah Abbasiyah


Pada awalnya kekhalifahan Daulah Abbasiyah menggunakan Kufah sebagai pusat pemerintahan, dengan Abu Abbas As-Safah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Kemudian Khalifah penggantinya Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M) memindahkan pusat pemerintahan ke Baghdad. Di kota Baghdad ini kemudian akan lahir sebuah imperium besar yang akan menguasai dunia lebih dari lima abad lamanya. Imperium ini dikenal dengan nama Daulah Abbasiyah.


Dalam beberapa hal Daulah Abbasiyah memiliki kesamaan dan perbedaan dengan Daulah Umayah. Seperti yang terjadi pada masa Daulah Umayah, misalnya, para bangsawan Daulah Abbasiyah cenderung hidup mewah dan bergelimang harta. Mereka gemar memelihara budak belian serta istri peliharaan (harem). Kehidupan lebih cenderung pada kehidupan duniawi ketimbang mengembangkan nilai-nilai agama Islam. Namun tidak dapat disangkal sebagian khalifah memiliki selera seni yang tinggi serta taat beragama. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan. Sehingga dapatlah dikelompokkan masa Daulah Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal usul penguasa selama masa 508 tahun Daulah Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa. Yaitu Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Saljuk, seperti tersebut di bawah ini. Kenyataan itu menunjukkan bahwa masa pemerintahan itu diwarnai oleh intrik istana maupun perebutan kekuasaan secara internal. [7]

a. Bani Abbas (750-932 M)
1. Khalifah Abu Abbas As-Safah (750-754 M)
2. Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M)
3. Khalifah Al-Mahdi (775-785 M)
4. Khalifah Al-Hadi (785-786 M)
5. Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)
6. Khalifah Al-Amin (809-813 M)
7. Khalifah Al-Makmun (813-833 M)
8. Khalifah Al-Muktasim (833-842 M)
9. Khalifah Al-Wasiq (842-847 M)
10. Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M)
11. Khalifah Al-Muntasir (861-862 M)
12. Khalifah Al-Mustain (862-866 M)
13. Khalifah Al-Muktazz (866-869 M)
14. Khalifah Al-Muhtadi (869-870 M)
15. Khalifah Al-Muktamid (870-892 M)
16. Khalifah Al-Muktadid (892-902 M)
17. Khalifah Al-Muktafi (902-908 M)
18. Khalifah Al-Muktadir (908-932 M)
b. Bani Buwaihi (932-1075 M)
19. Khalifah Al-Kahir (932-934 M)
20. Khalifah Ar-Radi (934-940 M)
21. Khalifah Al-Mustaqi (940-944 M)
22. Khalifah Al-Muktakfi (944-946 M)
23. Khalifah Al-Mufi (946-974 M)
24. Khalifah At-Tai (974-991 M)
25. Khalifah Al-Kadir (991-1031 M)
26. Khalifah Al-Kasim (1031-1075 M)
c. Bani Saljuk (1075-1258 M)
27. Khalifah Al-Muqtadi (1075-1084 M)
28. Khalifah Al-Mustazhir (1074-1118 M)
29. Khalifah Al-Mustasid (1118-1135 M)
30. Khalifah Ar-Rasyid (1135-1136 M)
31. Khalifah Al-Mustafi (1136-1160 M)
32. Khalifah Al-Mustanjid (1160-1170 M)
33. Khalifah Al-Mustadi (1170-1180 M)
34. Khalifah An-Nasir (1180-1224 M)
35. Khalifah Az-Zahir (1224-1226 M)
36. Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M)
37. Khalifah Al-Muktasim (1242-1258 M)



C. Periodisasi dalam Daulah Abbasiyah
a. Periode pertama (750-847 M)
Diawali dengan tangan besi
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pendiri dari Daulah Abbasiyah ini adalah Abu Abbas As-Safah. Di awal pemerintahannya untuk mengukuhkan eksistensi kekhalifahan Daulah Abbasiyah, maka Abu Abbas menerapkan kebijakan-kebijakan yang cukup tegas, kebijakan itu adalah memusnahkan anggota keluarga daulah Bani Umayah, serta menggunakan suatu agen rahasia yang berfungsi untuk mengawasi gerak dan gerik keturunan Bani Umayah, bila perlu membunuhnya. Koordinator pelenyapan keluarga Bani Umayah itu diserahkan kepada Abdullah pamannya Abu Abbas.[8]

Perlakuan kejam itu tidak hanya kepada orang-orang Umayah yang masih hidup, melainkan juga kepada mereka yang sudah meninggal, dengan cara mengeluarkan jenazah mereka dan membakarnya. Sedangkan makam yang tidak digali, adalah makam Muawiyah bin Abi Sufyan dan Umar bin Abdul Aziz.[9] Sehingga akhirnya menimbulkan banyak pemberontakan, namun pemberontakan-pemberontakan yang ada dapat dipatahkan oleh Abu Abbas. Setelah Abu Abbas meninggal dia diganti oleh Abu Jakfar Al-Mansur (754-775 M)
Abu Jakfar Al-Mansur adalah Khalifah Daulah Abbasiyah yang dikenal paling kejam. Namun dialah yang paling berjasa dalam mengkonsolidasikan dinasti Abbasiyah sehingga menjadi kuat dan kokoh, dia meletakkan dasar-dasar pemerintahan bani Abbasiyah dan tidak-segan-segan melakukan tindakan tegas kepada pihak-pihak yang mengganggu pemerintahannya.[10]


Untuk menunjang langkah menuju masa kejayaan beberapa kebijakan penting yang diambil oleh Al-Mansur yaitu memindahkan ibukota dari Kuffah ke Baghdad, sebuah kota indah yang terdapat di tepi aliran sungai Tigris dan Eufrat. Sementara itu perbaikan juga dilakukan di bidang administrasi pemerintahan yang disusun secara baik dan pengawasan terhadap berbagai kegiatan pemerintah diperketat. Petugas pos-pos komunikasi dan surat-menyurat ditingkatkan fungsinya menjadi lembaga pengawas terhadap para gubernur. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya gerakan separatis dan pemberontakan. Tak urung gejala pemberontakan itu memang muncul di mana-mana, misalnya beberapa daerah taklukan melepaskan diri. Namun demikian pemberontakan-pemberontakan yang ada dapat dipatahkan oleh Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur. Selain itu salah satu kebijakan Al-Mansur adalah melakukan invasi dan perluasan daerah kekuasaan, antara lain ke wilayah Armenia, Mesisah, Andalusia dan Afrika.


Kalau dasar-dasar pemerintahan Daulah Abbasiyah ini telah diletakkan dan dibangun oleh Abu Abbas As-Safah dan Abu Jakfar Al-Mansur, maka puncak keemasan dinasti itu berada pada tujuh Khalifah sesudahnya. Sejak masa Khalifah Al-Mahdi (775-785) hingga Khalifah Al-Wasiq (842-847 M).[11]
Pergeseran Kebijakan



Puncak popularitas daulah ini berada pada zaman Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Makmun (813-833 M). Kedua penguasa ini lebih menekankan pada pengembangan peradaban dan kebudayaan Islam ketimbang perluasan wilayah seperti pada masa Daulah Umayah. Orientasi pada pembangunan peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembeda lainnya antara dinasti Abbasiyah dan dinasti Umayah yang lebih mementingkan perluasan daerah. Akibat kebijakan yang diambil ini, provinsi-provinsi terpencil di pinggiran mulai terlepas dari genggaman mereka.[12]
Ada dua kecenderungan yang terjadi. Pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan yang berhasil menegakkan kemerdekaan penuh seperti Daulah Umayah di Andalusia (Spanyol) dan Idrisiyah (Bani Idris) di Marokko. Cara kedua, yaitu ketika orang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh Khalifah manjadi sangat kuat, seperti Daulah Aglabiah (Bani Taglib) di Tunisia dan Tahiriyah di Khurasan.[13]

Pada zaman Al-Mahdi, perekonomian meningkat. Irigasi yang dibangun membuat hasil pertanian berlipat ganda dibanding sebelumnya. Pertambangan dan sumber-sumber alam bertambah dan demikian pula perdagangan internasional ke timur dan ke barat dipergiat. Kota Basra menjadi pelabuhan transit yang penting yang serba lengkap.[14]


 Tingkat kemakmuran yang paling tinggi adalah pada zaman Harun Al-Rasyid. Masa itu berlangsung sampai dengan masa Al-Makmun. Al-Makmun menonjol dalam hal gerakan intelektual dan ilmu pengetahuan dengan menerjemahkan buku-buku dari Yunani.


Kecenderungan orang-orang muslim secara sukarela sebagai anggota milisi mengikuti perjalanan perang sudah tidak lagi terdengar. Ketentaraan kemudian terdiri dari prajurit-prajurit Turki yang profesional. Militer Daulah Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat. Akibatnya, tentara itu menjadi sangat dominan sehingga Khalifah berikutnya sangat dipengaruhi atau menjadi boneka mereka.


Sebagai respon dari kenyataan tersebut Khalifah Al-Wasiq (842-847 M) mencoba melepaskan diri dari dominasi tentara Turki tersebut dengan memindahkan ibukota ke Samarra, tetapi usaha itu tidak berhasil mengurangi dominasi tentara Turki.
Salah satu faktor penting yang merupakan penyebab Daulah Abbasiyah pada periode pertama ini berhasil mencapai masa keemasan ialah terjadinya asimilasi dalam Daulah Abbasiyah ini. Berpartisipasinya unsur-unsur non Arab, terutama bangsa Persia, dalam pembinaan peradaban Baitul Hikmah dan Darul Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Harun Al-Rasyid dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah Al-Makmun.


Pada masa itu perpustakaan-perpustakaan tampaknya lebih menyerupai sebuah universitas ketimbang sebuah taman bacaan. Orang-orang datang ke perpustakaan itu untuk membaca, menulis, dan berdiskusi. Di samping itu, perpustakaan ini juga berfungsi sebagai pusat penerjemahan. Tercatat kegiatan yang paling menonjol adalah terhadap buku-buku kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi dan ilmu alam. Di masa-masa berikutnya para ilmuwan Islam bahkan mampu mengembangkan dan melakukan inovasi dan penemuan sendiri. Di sinilah letak sumbangan Islam terhadap ilmu dan peradaban dunia.


Zaman Keemasan

Kekhalifahan Bani Abbas biasa dikaitkan dengan Khalifah Harun Al-Rasyid, yang digambarkan sebagai Khalifah yang paling terkenal dalam zaman keemasan kekhalifahan Bani Abbasiyah. Dalam memerintah Khalifah digambarkan sangat bijaksana, yang selalu didampingi oleh penasihatnya, Abu Nawas, seorang penyair yang kocak, yang sebenarnya adalah seorang ahli hikmah atau filsuf etika. Zaman keemasan itu digambarkan dalam kisah 1001 malam sebagai negeri penuh keajaiban.
Sebenarnya zaman keemasan Bani Abbasiyah telah dimulai sejak pemerintahan pengganti Khalifah Abu Jakfar Al-Mansur yaitu pada masa Khalifah Al-Mahdi (775-785 M) dan mencapai puncaknya di masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid.


Di masa-masa itu para Khalifah mengembangkan berbagai jenis kesenian, terutama kesusasteraan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Berbagai buku bermutu diterjemahkan dari peradaban India maupun Yunani. Dari India misalnya, berhasil diterjemahkan buku-buku Kalilah dan Dimnah maupun berbagai cerita Fabel yang bersifat anonim. Berbagai dalil dan dasar matematika juga diperoleh dari terjemahan yang berasal dari India. Selain itu juga diterjemahkan buku-buku filsafat dari Yunani, terutama filsafat etika dan logika. Salah satu akibatnya adalah berkembangnya aliran pemikiran muktazilah yang amat mengandalkan kemampuan rasio dan logika dalam dunia Islam. Sedangkan dari sastera Persia terjemahan dilakukan oleh Ibnu Mukaffa, yang meninggal pada tahun 750 M. Pada masa itu juga hidup budayawan dan sastrawan masyhur seperti Abu Tammam (meninggal 845 M), Al-Jahiz (meninggal 869 M), Abul Faraj (meninggal 967 M) dan beberapa sastrawan besar lainnya.[15]


Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya pada bidang sastra dan seni saja juga berkembang , meminjam istilah Ibnu Rusyd, Ilmu-ilmu Naqli dan Ilmu Aqli. Ilmu-ilmu Naqli seperti Tafsir, Teologi, Hadis, Fiqih, Ushul Fiqh dan lain-lain. Dan juga berkembang ilmu-ilmu Aqli seperti Astronomi, Matematika, Kimia, Bahasa, Sejarah, Ilmu Alam, Geografi, Kedokteran dan lain sebagainya. Perkembangan ini memunculkan tokoh-tokoh besar dalam sejarah ilmu pengetahuan, dalam ilmu bahasa muncul antara lain Ibnu Malik At-Thai seorang pengarang buku nahwu yang sangat terkenal Alfiyah Ibnu malik, dalam bidang sejarah muncul sejarawan besar Ibnu Khaldun serta tokoh-tokoh besar lainnya yang memiliki pengaruh yang besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya.

b. Periode kedua (847-945 M)[16]


Kebijakan Khalifah Al-Muktasim (833-842 M) untuk memilih unsur-unsur Turki dalam ketentaraan Kekhalifahan Daulah Abbasiyah terutama dilatar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa Al-Makmun dan sebelumnya. Di masa Al-Muktasim (833-842 M) dan Khalifah sesudahnya Al-Wasiq (842-847 M), mereka mampu mengendalikan unsur-unsur Turki tersebut. Akan tetapi, Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang Khalifah yang lemah. Pada masanya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat setelah Al-Mutawakkil wafat. Mereka telah memilih dan mengangkat Khalifah sesuai kehendak mereka. Dengan demikian Bani Abbasiyah tidak lagi mempunyai kekuatan dan kekuasaan, meskipun resminya mereka adalah penguasa. Usaha untuk melepaskan dari dominasi Turki selalu mengalami kegagalan. Pada tahun 892 M, Baghdad kembali menjadi Ibukota. Sementara kehidupan intelektual terus berkembang.


Akibat adanya persaingan internal di kalangan tentara Turki, mereka memang mulai melemah. Mulailah Khalifah Ar-Radi menyerahkan kekuasaan kepada Muhammad bin Raiq, Gubernur wasit dari Basra. Di samping itu, Khalifah memberinya gelar Amirul Umara (Panglima para panglima). Meskipun demikian, keadaan Bani Abbas tidak menjadi lebih baik. Dari dua belas Khalifah pada periode ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya, kalau tidak dibunuh, mereka digulingkan dengan paksa.
Pemberontakan masih bermunculan pada periode ini, seperti pemberontakan Zanj di dataran rendah Irak Selatan dan pemberontakan Karamitah yang berpusat di Bahrain. Namun bukan itu semua yang menghambat upaya mewujudkan kesatuan politik Daulah Abbasiyah. Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut, pertama, luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Berbarengan dengan itu kadar saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah, Yang kedua, profesionalisasi tentara menyebabkan ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi. Ketiga, kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah kekuatan militer merosot, Khalifah tidak sanggup lagi memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.


C. Periode Ketiga (945-1055 M)


Posisi Daulah Abbasiyah yang berada di bawah kekuasaan Bani Buwaihi merupakan ciri utama dari periode ketiga ini. Keadaan Khalifah lebih buruk ketimbang di masa sebelumnya, lebih-lebih karena Bani Buwaihi menganut aliran Syiah. Akibatnya kedudukan Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Sementara itu Bani Buwaihi telah membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara. Ali menguasai wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan menguasai wilayah bagian utara, dan Ahmad menguasai wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi menjadi pusat pemerintahan Islam, karena telah dipindah ke Syiraz di mana berkuasa Ali bin Buwaihi yang memiliki kekuasaan Bani Buwaihi.


Dalam bidang ilmu pengetahuan, Daulah Abbasiyah masih terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti Al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al-Biruni (973-1048 M), Ibnu Misykawaih (930-1030 M) dan kelompok studi Ikhwan As-Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan itu juga diikuti dengan pembangunan kanal, mesjid dan rumah sakit. Patut dicatat pula bahwa selama masa Bani Buwaihi berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali bentrokan sosial aliran ahlu sunnah dan syiah, dan pemberontakan tentara.


d. Periode Keempat (1055-1199 M)

Periode keempat ini ditandai dengan berkuasanya Bani Saljuk dalam Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Saljuk ini adalah atas ’’undangan’’ Khalifah untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaihi di baghdad. Keadaan Khalifah sudah mulai membaik, paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama sudah kembali setelah beberapa lama dikuasai orang-orang Syiah.


Seperti halnya pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang dalam periode ini. Nizam Al-Mulk, Perdana Menteri pada masa Alp Arselan dan Maliksyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi di kemudian hari. Madrasah ini telah melahirkan banyak cendikiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Misalnya yang dilahirkan dalam periode ini adalah Az-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Usul ad-dien (Teologi), Al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan. Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa provinsi dengan seorang gubernur untuk mengepalai masing-masing provinsi. Pada masa pusa kekuasaan melemah, masing-masing provinsi memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikrit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka berakhir di Irak di tangan Khawarizmisyah pada tahun 1199 M.


e. Periode Kelima (1199-1258 M)


Telah terjadi perubahan besar-besaran dalam kekhalifahan Daulah Abbasiyah dalam periode kelima ini. Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah dinasti tertentu. Mereka merdeka dan berkuasa tetapi hanya di baghdad dan sekitarnya. Sempitnya wilayah kekuasaan Khalifah menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah datang tentara Mongol dan Tartar menghancurkan Baghdad tanpa perlawanan pada tahun 1258 M.

*Faktor-Faktor

Faktor-faktor yang membuat Daulah Abbasiyah menjadi lemah dan kemudian hancur dapat dikelompokkan menjadi dua faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Di antara faktor-faktor intern adalah, pertama, adanya persaingan tidak sehat di antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam Daulah Abbasiyah, terutama Arab, Persia dan Turki. Kedua, terjadinya perselisihan pendapat di antara kelompok pemikiran agama yang ada, yang berkembang menjadi pertumpahan darah. Ketiga, munculnya dinasti-dinasti kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang berkepanjangan. Keempat, terjadinya kemerosotan tingkat perekonomian sebagai akibat dari bentrokan politik.

Sedangkan faktor-faktor ekstern yang terjadi adalah, pertama, berlangsungnya perang salib yang berkepanjangan dalam beberapa gelombang. Dan yang paling menentukan adalah faktor kedua yaitu, adanya serbuan tentara Mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan, yang berhasil menjarah semua pusat-pusat kekuasaan maupun pusat ilmu, yaitu perpustakaan di Baghdad.

Kekejaman Bangsa Mongol[17]

Khalifah Al-Muktasim, Khalifah Daulah Abbasiyah yang paling akhir, beserta seluruh putra-putranya dan semua pembesar-pembesar kota Baghdad mati dibunuh semuanya oleh tentara Mongol. Sebagian besar penduduk kota itu disembelih laksana binatang saja. Sesudah itu mereka merampas harta benda penduduk dan melakukan perbuatan-perbuatan kejam dab ganasnya tiada terperikan. Sekalian isi istana dan perbendaharaan negara mereka rampas semuanya. Istana dan gedung-gedung yang indah, madrasah dan mesjid-mesjid yang mengagumkan mereka rusak. Buku-buku pengetahuan yang tak ternilai harganya, mereka lemparkan ke dalam sungai Tigris sehingga hitam lantaran tinta yang luntur. Mereka membakar di sana-sini sehingga api mengamuk di seluruh kota. Peristiwa kekejaman ini berlaku sampai 40 hari lamanya. Di atas bumi kota Baghdad, tak ada lagi yang kelihatan, selain dari tumpukan bara hitam yang masih berasap.

Daulah Abbasiyah Lenyap

Dengan kematian Al-Muktasim lenyaplah Daulah Abbasiyah dari bumi ini, berkubur dalam bumi kota Baghdad yang telah hangus di bawah runtuhan gedung-gedung dan istana.
Dalam masa lima abad lamanya, yakni sejak dari Abu Abbas As-Safah memerintah pada 750 M sampai hari mangkatnya Al-Muktasim pada 1258 M, telah ada 37 orang Khalifah menduduki singgasana Daulah Abbasiyah.


Penutup

Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, Pada masa ini kedaulatan umat Islam telah sampai ke puncak kemuliaan, baik kekayaan, kemajuan ataupun kekuasaan. Pada zaman ini telah lahir berbagai ilmu Islam dan berbagai ilmu penting telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Selain itu sumbangan umat Islam bagi peradaban dunia juga dihasilkan oleh para cendikiawan-cendikiawan besar yang hidup di masa Daulah Abbasiyah ini. Namun ada pelajaran penting yang dapat kita petik dari perjalanan panjang Daulah Abbasiyah yang selama berabad-abad menguasai dunia yakni agar umat Islam jangan terlena dengan kekuasaan dunia, karena keterlenaan dan hidup bermegah-megah menyebabkan kita jauh dari ajaran Allah SWT. Hal juga merupakan pemicu bagi umat Islam untuk kembali bangkit merebut kejayaan Islam yang pernah dirasakan pada masa Daulah Abbasiyah.

Sumber : http://pemudasarawak.wordpress.com/2009/10/21/daulah-abasiyah-zaman-       keemasan-islam-abu-zahra-ibnu-machtum-indonesia/

..................SAHABAT-SAHABAT RASULULLAH................

BAB II
SAHABAT-SAHABAT RASULLULLAH SAW


2.1 Pengertian
Orang Muslim beriman kepada kewajiban mencintai sahabat-sahabat Rasullullah saw., keluarga beliau, keutamaan mereka atas kaum Mukminin dan kaum Muslimin yang lain, dan bahwa ketinggian derajat mereka ditentukan oleh siapa di antara mereka yang paling dahulu masuk Islam.

Sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang paling utama ialah para khulafaur rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Kemudian disusul sepuluh orang yang dijamin masuk surga, yaitu keempat khulafaur rasyidin, Thalhah bin Ubaidillah, Az-Zubair bin Al-Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash, Sa'id bin Zaid, Abu Ubaidah Amir bin Al-Jarrah, Abdurrahman bin Auf. Disusul para sahabat yang ikut perang Badar, kemudian disusul orang-orang yang dijamin masuk surga selain sepuluh orang di atas, misalnya Fathimah Az-Zahra', Hasan bin Ali, Husain bin Ali, Tsabit bin Qais, Bilal bin Rabah, dan lain sebagainya. Kemudian disusul para sahabat yang ikut menghadiri Baiat Ar-Ridwan yang berjumlah seribu empat ratus sahabat Radhiyallahu Anhum.

Terhadap sahabat-sahabat Rasulullah saw. dan keluarga beliau, maka orang Muslim:
Mencintai mereka, karena kecintaan Allah Ta'ala, dan kecintaan Rasulullah saw. kepada mereka. Allah Ta'ala menjelaskan dalam firman-Nya, "Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela." (Al-Maidah: 54).

Tentang sifat mereka, Allah Ta'ala berfirman, "Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka." (Al-Fath: 29).

Rasulullah saw. bersabda, "(Takutlah kepada), Allah, (takutlah kepada) Allah terhadap sahabat-sahabatku, dan jangan jadikan mereka sebagai bahan tuduhan sepeninggalku. Barangsiapa mencintai mereka, maka karena kecintaanku, ia mencintai mereka. Barangsiapa membuat mereka marah, maka karena kemarahanku, ia membuat mereka marah. Barangsiapa menyakiti mereka, sungguh ia telah menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, sungguh ia telah menyakiti Allah. Barangsiapa menyakiti Allah, maka tidak lama lagi Allah akan mengambilnya (menghukumnya)." (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia meng-hasan-kan hadits ini).
Beriman kepada keutamaan mereka atas kaum Mukminin, dan kaum Muslimin yang lain, karena firman Allah Ta'ala dalam pujian kepada mereka, "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar." (At-Taubah: 100).

Rasulullah saw. bersabda, "Janganlah kalian mencaci-maki sahabat-sahabatku, karena jika salah seorang dari kalian berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, maka infaknya tersebut tidak mencapai satu mud (6 ons) mereka atau setengahnya." (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Abu Daud).

Berpendapat bahwa Abu Bakar adalah sahabat Rasulullah saw. yang paling mulia dibandingkan sahabat-sahabat lainnya, kemudian disusul Umar bin Khatthab, kemudian Utsman bin Affan, kemudian Ali bin Abi Thalib, karena dalil-dalil berikut:

Sabda Rasulullah saw., "Jika aku mengambil kekasih dari umatku, aku pasti mengambil Abu Bakar sebagai kekasihku, namun ia adalah saudaraku, dan sahabatku." (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari).

Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma berkata, "Kami pernah berkata ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup, '(Sahabat terbaik) ialah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khaththab, kemudian Utsman bin Affan, kemudian Ali bin Abi Thalib.' Ketika hal ini didengar oleh Rasulullah saw., beliau tidak memungkirinya."

Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, "Orang terbaik umat ini setelah nabinya ialah Abu Bakar, kemudian Umar bin Khaththab. Jika aku mau, aku sebutkan orang ketiga yaitu Utsman bin Affan." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

2.2 Mengakui kelebihan-kelebihan para sahabat Rasullullah saw
Mengakui kelebihan-kelebihan para sahabatnya, dan kebaikan-kebaikan mereka, seperti kebaikan Abu Bakar, Umar bin Khaththab dan Utsman bin Affan dalam sabda Rasulullah saw. kepada Gunung Uhud yang gemetar bersama para sahabat yang berada di atasnya, "Tenanglah engkau Uhud, sesungguhnya di atasmu terdapat Nabi, Shiddiq (Abu Bakar), dan dua orang yang syahid (Umar dan Utsman)." (Diriwayatkan Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Abu Daud, dan Ahmad).

Atau seperti kelebihan, dan kebaikan Ali bin Abu Thalib r.a., karena sabda Rasulullah saw. kepadanya, "Tidaklah engkau senang kalau kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Nabi Musa?" (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Atau seperti kelebihan Fathimah Radhiyallahu Anha, karena Sabda Rasulullah saw., "Fatimah adalah wanita terkemuka dari wanita-wanita penghuni surga." (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari).

Atau seperti kelebihan Az-Zubair bin Al-Awwan, karena sabda Rasulullah saw., "Sesungguhnya setiap nabi itu mempunyai hawari (penolong), dan hawariku (penolongku) ialah Az-Zubair bin Al-Awwam." (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Atau seperti kelebihan Hasan, dan Husain, karena Sabda Rasulullah saw., "Ya Allah, cintailah keduanya, karena aku mencintai keduanya." (Diriwayatkan Al-Bukhari, At-Tirmidzi, dan Ahmad).

Atau seperti kelebihan Abdullah bin Umar Radhiyallahu Anhuma, karena sabda Rasulullah saw., "Sesungguhnya Abdullah (bin Umar) adalah orang shalih." (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari).

Atau seperti kelebihan Zaid bin Haritsah r.a., karena sabda Rasulullah saw., "Engkau adalah saudara kita dan mantan budak kita." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Atau seperti kelebihan Ja'far bin Abu Thalib r.a., karena sabda Rasulullah saw., "Engkau sangat mirip dengan perawakanku,dan akhlakku." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Atau seperti kelebihan Bilal bin Rabah Radhiyallahu Anhu, karena sabda Rasulullah saw., "Aku mendengar suara sandalmu di depanku di surga." (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Atau seperti kelebihan Salim, mantan budak Abu Hudzaifah, Abdullah bin Mas'ud, Ubai bin Ka'ab, dan Muadz bin Jabal, karena sabda Rasulullah saw., "Hendaklah kalian meminta pembacaan al-Qur'an kepada empat orang Abdullah bin Mas'ud, Salim manta budak Abu Hudzaifah, Ubai bin Ka'ab, dan Muadz bin Jabal." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Atau seperti kelebihan Aisyah Radhiyallahu Anha, karena sabda Rasulullah saw., "Kelebihan Aisyah atas seluruh wanita dalah seperti kelebihan makanan Tsarid (roti yang diremuk dan direndam dalam kuah) atas semua makanan." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Atau seperti kebaikan kaum Anshar, karena sabda Rasulullah saw., "Jika kaum Anshar melewati suatu lembah, atau jalan di antara dua bukit, aku pasti melewati lembah kaum Anshar. Jika tidak karena Hijrah, aku pasti menjadi salah seorang dari kaum Anshar." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Atau karena sabda Rasulullah saw. tentang kaum Anshar, "Kaum Anshar, mereka tidak dicintai kecuali oleh orang Mukmin, dan mereka tidak dibenci kecuali orang munafik. Barangsiapa mencintai mereka, ia dicintai Allah. Dan barangsiapa membenci mereka, ia dibenci Allah." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Atau seperti kebaikan Sa'ad bin Muadz Radhiyallahu Anhu, karena sabda Rasulullah saw., "Arasy goyah karena kematian Sa'ad bin Muadz." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Atau seperti kelebihan Usaid bin Khudhair Radhiyallahu Anhu ketika ia bersama salah seorang sahabat Rasulullah saw. di rumah Rasulullah saw. di malam yang gelap gulita. Ketika keduanya keluar dari rumah Rasulullah saw., tiba-tiba di kedua tangan Usaid bin Khudair terdapat sinar, kemudian keduanya berjalan dengan diterangi sinar tersebut. Ketika keduanya berpisah, sinar tersbut pun hilang dari keduanya.

Atau seperti kebaikan Ubai bin Ka'ab Radhiyallahu Anhu, karena sabda Rasulullah saw., "Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membacakan kepadamu ayat, '(Dia tidak termasuk orang-orang kafir dari Ahli Kitab)'." Ubai bin Ka'ab berkata, 'Apakah Allah juga menyebut namaku?' Rasulullah saw. bersabda, "Ya, betul," Ubai bin Ka'ab pun menangis. (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Atau seperti kebaikan Khalid bin Walid Radhiyallahu Anhu, karena sabda Rasulullah saw., "Khalid adalah salah satu pedang Allah yang terhunus." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Atau seperti kebaikan Hasan Radhiyallahu Anhu, karena sabda Rasulullah saw., "Anakku ini adalah orang terkemuka. Mudah-mudahan dengannya, Allah mendamaikan dua kelompok dari kaum Muslimin." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Atau seperti kebaikan Abu Ubaidah Radhiyallahu Anhu, karena sabda Rasulullah saw., "Setiap umat mempunyai orang kepercayaan, da sesungguhnya orang kepercayaan kita, hai umat (Islam), adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah." (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Menahan diri dari mengungkap keburukan mereka dan taidak berkomentar tentang persengketaan yang terjadi pada mereka, karena sabda-sabda Rasulullah saw., misalnya sabda beliau berikut:

"Janganlah kalian mencaci-maki sahabat-sahabatku." (Diriwayatkan Al-Bukhari, dan Abu Daud).
"Jangan kalian menjadikan mereka (sahabat-sahabatku) sebagai bahan tuduhan sepeninggalku." (Diriwayatkan At-Tirmidzi).
"Barangsiapa menyakiti mereka (para sahabat), sungguh ia telah menyakitiku. Barangsiapa menyakitiku, sungguh ia telah menyakiti Allah. Dan barangsiapa menyakiti Allah, maka tidak lama lagi Allah akan mengambilnya (menghukumnya)." (Diriwayatkan At-Tirmidzi).

2.3 Beriman kepada kehormatan istri-istri Rasulullah saw
Beriman kepada kehormatan istri-istri Rasulullah saw., bahwa mereka adalah wanita-wanita suci bersih, mencari keridhaan mereka, dan berpendapat bahwa istri-istri beliau yang termulia ialah Khadijah binti Khuwailid, dan Aisyah binti Abu Bakar, karena firman Allah Ta'ala, "Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang Mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka." (Al-Ahzab:

Sumber : Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim

Ensiklopedi Muslim. Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah,

Senin, 11 Mei 2009

Berpikir Positif

1. Berfikitr positif ialah suatu cara yng biasanya mengambil hasil yang sebaik- baik nya dari kondisi yang seburuk-buruk nya. Dengan kata lain mengambil kesempatan dari kesempitan. Dalam menghadapi suatu kejadian ( yang tidak menyenangkan) orang yang berfikir positif selalu memandang dari dua sisi, yaitu segi positif dan negatife nya. Segi positif lebih di tekankan dari pada negatife nya.

2. Orang yang berfikir berarti memiliki jiwa qana”ah (rela menerima kenyataan hidup), dengan keyakinan bahwa di balik peristiwa yang tidak menyenang kan itu pasti ada hikmah nya ( walaupun belum di ketahui saat itu juga).

Hanya dengan berfikir positif atau qana”ah manusia akan dapat menikmati hidup ini secara wajar. Peristiwa pahit yang di alami tidak terlalu berdampak negative bagi jiwa nya karena di kembalikan kepada Allah yang mengatur segala-segala ny. Dengan berfikir positif atau qana”ah seseorang akan memiliki mental yang tangguh dalam menghadapi problem hidup.

Untuk dapat berfikir positif diperlukan empat senjata yang sangat ampuh, yaitu : Beriman, berdoa, dan berusaha.

3. Kekuatan iman di atas kekuatan segala-galanya. Dengan iman seseorang akan mampu menghadapi benturan yang bagai manapun keras nya dalam hidup ini.

Orang yang berfikir positif tidak berada dalam kebimbangan, tidak pula berspekulasi karena jiwa yang lemah, melainkan berfikir dengan jiwa yang besar disertai keberanian berusaha dan bertindak. Usaha dan doa dilakukan secara maksimal, namun seberapa hasil yang di peroleh diterima dengan senag hati serta rasa syukur kepada-nya.

4. Setiap muslim berfikir secara positif atau qana”ah. Kewajiban untuk memiliki sifat qana”ah berarti juga kewajiban untuk pandai-pandai mensyukuri nikmat Allah yang di terimanya. Apabila masing-masing pribadi muslim telah memiliki sifat qana”ah, maka terwujudlah masyarakat yang qana”ah pula. Ketentraman dan kedamaian hiidup hanya akan dinikmati oleh masyarakat yang memiliki sifat qana”ah.



By: Desanto
destasport@yahoo.com